Senin, 05 Desember 2011

Buku PKn SMA Dinilai Picu Radikalisasi

JAKARTA- Ketua Ikatan Guru Civic Indonesia (IGCI) Retno Listiyarti mengungkapkan, pendidikan multikultural itu seharusnya sudah diajarkan di bangku sekolah. Sayangnya, buku Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) kelas X, XI, dan XII yang tidak ada satupun yang menyebut materi multikultural. Padahal, buku PKn yang dipergunakan untuk siswa SMA itu berasal dari 9 penerbit.

"Minimnya pemahaman masyarakat Indonesia mengenai pendidikan multikultural ini menjadi salah satu pemicu munculkan radikalisasi di Indonesia saat ini," kata Retno dalam Seminar Hasil  Penelitian Buku Teks PKn SMA & Pelatihan Pembelajaran Multikultural di Gedung Kemdiknas, Jakarta, Selasa (14/6).

Dikatakan Retno, radikalisasi itu sebenarnya bisa saja diminimalisir dengan menanamkan nilai-nilai multikultural. Tapi sayangnya pendidikan mengenai multikultural tidak pernah dibahas di tingkat sekolah.

"Secara langsung atau tidak, dipastikan dapat berdampak pada proses pembelajaran yang kurang menanamkan nilai-nilai multikultural yang mengakibatkan munculnya radikalisasi di masyarakat. Padahal, pendidikan yang berkualitas di Indonesia itu sangat membutuhkan pendidikan multikultural karena bangsa Indonesia sangat majemuk dalam plural," ungkap Retno lagi.

Retno menyebutkan bahwa persoalan multikultural tidak bisa disandarkan pada kuantitas semata. Menurutnya, ada persepsi bahwa apa yang disebut dengan agama adalah yang diakui negara secara hukum legal formal. Jika melihat Indonesia secara lebih luas dan mendalam, lanjut Retno, terlihat keanekaragaman agama bukan soal satu atau enam jenis agama semata, tetapi lebih dibutuhkan sebuah pengakuan terhadap semua keyakinan yang tumbuh di masyarakat.

"Inilah yang kurang dipahami masyarakat. Sehingga mudah terjadinya radikalisasi. Pemahaman dan praktik multikulturalisme sebenarnya dapat menjadi benteng dari radikalisasi itu," imbuhnya.

Dikatakan Retno, hal yang paling ironi adalah bahwa guru SMA yang mengajar bidang studi PKn ternyata juga tidak melihat persoalan multikulturalisme sebagai sebuah persoalan kewarganegaraan dibandingkan dengan persoalan akhlak mulia dan agama.

"Para guru menganggap persoalan multikultural masih milik sosiologi yang sebenarnya lebih cenderung pada deskriptif terhadap masyarakat. Para guru memang mengerti tentang pendidikan multikultural tetapi masalahnya mereka kurang kritis dalam memahami konsep dan nilai-nilai multikultural pada sikap dan tindakan praktis dalam kegiatan proses belajar mengajar," papar Retno.

Oleh karena itu, pemerintah diminta lebih memperhatikan dan fokus pada pendidikan multikultural di dalam pembahasan kurikulum pendidikan kewarganegaraan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membuat kebijakan lebih jelas  yang dapat memayungi pelaksanaan pendidikan multikultural pada  pendidikan formal.

Peraturan mengenai pendidikan multikultural itu, kata Retno lagi, sebenarnya sudah ada pada Perpres No.7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (2009-2014). Tepatnya, pada Bab 27 tentang peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas-huruf C-arah kebijakan poin No. 12 yang menyinggung tentang pendidikan multikultural.

"Sayangnya, arah kebijakan pendidikan ini tidak diuraikan secara nyata dalam berbagai peraturan terkait kebijakan pendidikan di Indonesia," ujarnya.(cha/jpnn)

Selasa, 18 Oktober 2011

Pendidikan Pancasila dan Konstitusi Kepada Guru PKn Se-Indonesia

 Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) ikut bertanggung jawab dalam upaya meningkatkan dan mendekatkan pemahaman terhadap Pancasila, Konstitusi, dan Hukum Acara MK. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar dalam pembukaan temu wicara "Pendidikan Pancasila, Konstitusi dan Hukum Acara MK bagi Guru-guru Pendidikan Kewarganegaraan Se-Indonesia" pada Jumat (23/9) di Hotel Borobudur, Jakarta.
"Dalam pertemuan lembaga negara beberapa waktu lalu, disepakati untuk menumbuhkan kembali Pancasila dan Konstitusi sebagai dasar negara. Oleh karena itu, MK ikut bertanggung jawab terhadap hal itu," kata Janedjri di hadapan sekitar dua ratus guru-guru Pendidikan Kewarganegaraan se-Indonesia.
Janedjri juga memaparkan bahwa guru-guru pendidikan kewarganegaraan menjadi target utama MK untuk meningkatkan budaya kesadaran berkonstitusi. Hal tersebut, lanjut Janedjri, dikarenakan guru-guru pendidikan kewarganegaraan berinteraksi langsung dengan para generasi penerus bangsa, yakni para siswa. "Sebagai penghargaan terhadap guru pendidikan kewarganegaraan, MK memberikan Anugerah Konstitusi setiap Hari Guru yang jatuh pada 25 November. MK juga mohon doa restu agar rencana MK untuk membangun Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi dapat terwujud pada tahun 2012 mendatang," urai Janedjri.
Dalam kesempatan itu, Janedjri juga memaparkan mengenai perubahan Konstitusi pada 1999 - 2002 lalu. Perubahan tersebut, jelas Janedjri, disesuaikan dengan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara saat itu. "Perubahan tersebut menjadikan konstitusi sebagai hukum tertinggi di negara kita. Perubahan tersebut juga menghasilkan lembaga negara baru. Salah satunya adalah MK sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang putusannya bersifat final dan mengikat. Tidak ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh terhadap putusan MK. Oleh karena itu, ada yang menyebut MK setingkat di atas malaikat, dan setingkat di bawah Tuhan," paparnya.
Sementara itu, Dirjen Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama RI Muhammad Ali menyambut positif kegiatan yang merupakan hasil kerja sama antara MK dan Kementerian Agama RI. "Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kualifikasi dan kompetensi guru Pendidikan Kewarganegaraan. Selain itu, agar para guru pendidikan kewarganegaraan, lebih mengenal MK sebagai salah satu lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman," kata Ali.
Pada acara yang berlangsung tiga hari dari 23 - 25 September tersebut, diisi oleh beberapa pemateri yang merupakan hakim konstitusi maupun mantan hakim konstitusi. Sebagai pemateri pertama, Hakim Konstitusi Harjono menyampaikan materi mengenai pemahaman Pancasila sebagai ideologi negara dan jiwa UUD 1945. Menurut Harjono, kelima sila dalam Pancasila bukanlah unsur yang terpisah karena setiap sila mengkondisikan satu dengan yang lainnya sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara. "Misalnya, air yang unsur kimianya harus terdiri dari dua hidrogen dan satu oksigen. Hal yang sama seperti Pancasila. Sila persatuan Indonesia haruslah juga memenuhi unsur ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," tutur Harjono. (Lulu Anjarsari/mh)

Ical: Pancasila Jangan Dikerdilkan Jadi Pendidikan Kewarganegaraan






JAKARTA – Partai Golkar meminta agar pendidikan Pancasila menjadi mata pelajaran tersendiri dan tidak masuk dalam pelajaran pendidikan kewarganegaraan. “Golkar mempertanyakan kenapa pendidikan Pancasila hilang di kurikulum pendidikan Indonesia. Pancasila tidak boleh dikerdilkan dengan hanya menjadi bagian dari pendidikan kewarganegaraan,” kata Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (10/5).

Bagi Partai Golkar, katanya, ajaran tentang Pancasila tidak boleh hanya menjadi bagian kecil dari mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). Oleh karena itu, Aburizal sudah menginstruksikan kepada Fraksi Partai Golkar (FPG) di DPR untuk menyikapi masalah ini secara serius. “Sikap Partai Golkar jelas, yakni kembalikan materi pendidikan Pancasila menjadi bagian dari kurikulum pendidikan Indonesia secara khusus, karena materi pendidikan Pancasila harus diajarkan secara tersendiri,” katanya.
Menurut Aburizal Bakrie, penghapusan pendidikan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi adalah sebuah upaya untuk memotong anak bangsa ini dari akar budayanya sendiri, karena Pancasila adalah pintu gerbang masuk pelajaran tentang semangat nasionalisme, gotong royong, budi pekerti, nilai-nilai kemanusiaan, kerukunan dan toleransi beragama. Gotong-royong yang dilandasi oleh semangat kekeluargaan bukanlah sebuah ungkapan klise.
“Gotong royong adalah sebuah nilai dasar, kristalisasi pengalaman satu generasi ke generasi lainnya dari himpunan manusia yang kita sebut manusia dan masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Aburizal Bakrie mengatakan, di saat-saat belakangan ini, dengan terjadinya berbagai kericuhan, konflik, dan perselisihan yang kadang memakan korban yang menyedihkan, bangsa Indonesia semakin diingatkan untuk kembali merenungkan jati diri Indonesia sebagai sebuah bangsa. Oleh karena itu, bagi Partai Golkar, Pancasila adalah ideologi yang dapat mempersatukan masyarakat sebagai suatu bangsa.
“Pancasila sebagai ideologi memang harus diterjemahkan ke dalam bahasa perilaku, oleh karenanya diperlukan kesadaran awal yaitu menyadari nilai-nilai luhur kemanusian yang sama,” ujarnya.
Aburizal Bakrie juga mengutip pernyataan Bung Karno bahwa gotong-royong dan semangat kekeluargaan adalah saripati dari nilai-nilai keindonesiaan, sebuah esensi dari kultur ketimuran yang menjadi pondasi dari kehidupan bersama serta yang menjadi dasar nasionalisme Indonesia. “Nilai inilah yang menjadi penopang kebhinnekaan kita, tempat kita bisa mengekspresikan perbedaan, tetapi pada saat yang sama tetap menjaga persatuan bangsa,” ujarnya.
Aburizal mengatakan dengan dasar semacam ini, pihaknya meyakini bahwa kehidupan politik, kehidupan kepartaian, dinamika kepemimpinan dan persaingan para elite, gerakan kemasyarakatan dan “civil society” dapat berlangsung dan mencari bentuk serta mengejar kepentingan masing-masing. Meski begitu, semuanya akan secara sadar menjunjung kebersamaan serta menjauhi sikap yang hanya mementingkan atau mau menang sendiri.
“Jika hal ini terjadi, maka sistem politik nasional kita akan semakin kokoh, semakin demokratis, di mana pilar-pilarnya mampu memainkan peran yang konstruktif bagi kehidupan bersama,” katanya.

SBY Minta Ada Pendidikan Kewarganegaraan untuk Napi Anak

Jakarta - Berbeda dengan peserta didik lain seusianya, warga binaan� di LP Anak perlu
mendapat pendidikan kewarganegaraan. Agar mereka usai menjalani masa
hukumannya dapat menjadi warga negara yang lebih baik.

"Diperlukan lagi pendidikan khusus untuk mengembalikan anak ke jalan yang
benar, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Pelajaran tentang kepribadian, cara pandang dan kesadaran untuk menjadi warga negara yang baik, good citizen," kata Presiden SBY, Selasa (17/2/2010).

Hal ini disampaikannya di sela-sela peninjauannya ke LP Anak kelas IIA,
Tangeran, Banten. Selama� beberapa jam di sana, Presiden dan rombongan meninjau berbagai fasilitas dan sarana yang tersedia bagi warga binaan.

Salah satunya adalah sarana pendidikan. Di samping mata pelajaran yang lazim
diajarkan di SD dan SMP, pihak LP memberi porsi yang khusus pada pendidikan
agama sebagai upaya perbaikan dan pengembangan moral warga





 binaan.

Caranya adalah dengan melakukan kerjasama dengan beberapa pondok pesantren agar mengirimkan tenaga pengajarnya. Ada pula warga binaan yang telah memenuhi syarat tertentu, sengaja dikirim untuk belajar ke pondok pesantren mitra LP Anak.

"Untuk membuat anak menjadi lebih baik, saya rasa pendidikan pesantren saja
belum cukup. Sebenarnya tidak ada kelainan psikologis, mereka hanya khilaf.
Karena itu saya meminta pendidikan di LP itu juga diberikan mata pelajaran
kewarganegaraan, dengan mendatangkan guru khusus dan disampaikan dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti oleh anak," ujar SBY usai mendapat paparan Kalapas LP Anak, Priyadi, di atas.

Khusus kepada jajaran aparat LP Anak dan semua pihak yang terlibat dalam
pendidikan, Presiden SBY menyampaikan rasa hormat dan penghargaannya� terhadap peran penting mereka selama ini. "Mengembalikan mereka yang tersesat ke arah benar, ini pahalanya luar biasa," kata SBY.